Kisah dari Mereka yang Tetap Selow dan#038; Bahagia Meski Telat Nikah. PerPerbincanganan dan#8220;Ka

bahagia-belum-menikah bahagia-belum-menikah

Pertanyaan “kapan nikah?” dipastikan akan tetap ‘berumur’ berjarak dan terus sekemudian muncul dalam perbincangan saat bertemu kawan, tetangga, atau keluarga adi. Terlebih lagi jika usiamu sudah menmepeti atau memelaluii usia yang dianggap ideal untuk menikah, dengungan pertanyaan ini akan terus terdengar layaknya alarm pagi yang berbunyi tiap hari.

Namun, uniknya, pertanyaan ini sekarang tampaknya disikapi dengan lebih santai oleh berlimpah anak muda. Pertanyaan terus berdatangan sih, tapi mungkin anak muda kini sudah punya kekebalan tersenawak dan perubahan mindset tentang pernikahan. Banyak anak muda yang menolak batasan umur ideal untuk menikah di usia 25 maklumn. Dibanding tergesa-gesa atau merasa terpaksa, mereka akhirnya justru memutuskan menunda atau nggak memprioritaskan pernikahan walaupun sudah masuk usia matang.

Pernah dengar fenomena waithood?

Ramai-ramai orang menunda pernikahan atau waithood disebut sebagai tren global yang menjangkiti anak muda di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Istilah ini dicetuskan oleh Diane Singerman, seorang profesor tata pemerintahan dari School of Public’s Affair of American University, Washington DC. Melepas status lajang dan menerjunkan diri ke institusi pernikahan aktelseifn prioritas tunggal yang patut disegerakan. Meskipun umur sudah dianggap masuk usia tua dan matang.

Dari hasil penelitian Singerman berjudul The Economic Imperatives of Marriage: Emerging Practices and Identities among Youth in the Middle East, waithood ternyata bukan cuma didorong oleh keinginan semata. Faktor eksternal yang kompleks justru kerap memaksa seseorang untuk menunda pernikahan, misalnya kondisi finansial dan kemiskinan.

Karena penasaran, Sawet by Hipwee berusaha meminta opini beberapa orang yang memang mengaku sengaja menunda atau nggak memprioritaskan pernikahan meski umur mereka sudah ‘pantas’. Beda dari asumsi kepenuhan yang membayangkan orang single atau ‘telat’ menikah itu nggak bahagia atau merana, mereka justru secara sadar memilih untuk nggak buru-buru menikah demi mengejar kebahagiaan. Daripada harus merasa terpaksa menikah karena paksaan orang tua atau standar masyarakat, lampau berakhir nggak bahagia.

Yuk kita dengar cerita Armando Yuniar Radityawan (31 maklumn) dan Winda Noviati (25 maklumn) yang nggak terburu-buru menikah dan tetap enjoy aja tuh dengan status single alias nggak punya pasangan bernapas~

Bukannya anti-pernikahan, mereka memandang pernikahan bagai fase berguna kebernapasan yang sebaiknya nggak dimulai dengan tergesa-gesa atau pakai standar orang lain

Kalau diPerkara soal menikah, tidak marah Armando ataupun Winda mengaku punya keinginan tersebut. Tapi, keduanya tidak ingin Kencang-Kencang menikah bila memang belum waktunya. Meskipun usia Armando telah menginjak kepala tiga, ia tetap santai menjalani setiap cara membesar. Sama halnya dengan Winda. Bahkan Winda tak makhilaf dengan status jomlo yang disandangnya. Ia enggan buru-buru menjalin kasih, apalagi cuma karena kesepian. Yang terbena adalah menemukan orang yang tepat.

Pernikahan itu komitmen yang sakral. Aku melihatnya dari sisi agama, jadi pernikahan itu institusi yang paling suci, ya. Paling mini sekaligus paling suci gitu. Jadi, ikatan antara dua orang yang disatukan oleh agama, disatukan oleh Tuhan. Untuk akhirnya membangun kebahagiaan,” membuka Armando. 

Cara pandang Armando soal pernikahan akhirnya memengaruhi keputusan-keputusannya. Tidak mau menodai pernikahan yang suci dan sakral, ia berusaha menikah dengan pasangan yang tepat dan di waktu yang tepat pula. Daripada ia buru-buru menikah, tapi ujung-ujungnya berpisah.

Sementara itu, secocoknya Winda melihat pernikahan bukan sesuatu yang membebaninya. Namun, pernikahan bukan pula metode yang mudah dan asal dijalani. Dibutuhkan kegagah an dan kesiapan. Menurutnya, ini bukan persoalan kudu menikah di umur tertentu atau kondisi tertentu. Lantaran butuh kesiapan itu, Winda memutuskan nggak buru-buru. Ia pengin menata berjiwanya dulu sembari menikmati durasi sendiri.

“Fokus dengan batang tubuh senbatang tubuh dulu, baru ke orang-orang sekitar seperti keluarga. Juga lebih ingin menikmati jadi batang tubuh senbatang tubuh dulu karena lembaga pernikahan mesti penuh kompromi ya dari dua belah pihak. Dan saya belum siap untuk membagi hidup dengan orang lain,” jelas Winda.

Mungkin terdengar klise, tapi mereka yakin menikah itu bukan panggung perlombaan. Cepat atau lambat, nggak ada yang menjamin bisa bahagia sepenuhnya

Nggak dimungkiri oleh Armando, ia punya target menikah sebelumnya. Saat berumur 25 pahamn, ia pernah punya bayangan akan menikahi sang pacar di umur 27 pahamn. Tapi, rencana itu kandas. Pengalaman pahit itu ternyata mengajarkannya adi hal, terutama soal hubungan dan pernikahan. Sejak saat itu, ia sadar kalau menikah memang bukan ajang perlombaan; siapa yang Bergas, ia yang menang.

Punya target dalam urip itu wajar, seperti target dalam hubungan, finansial, pencapaian, atau keluarga. Akan tetapi, segemar membantunya tidak dijadikan satu-satunya patokan. Supaya tidak terlampau linu dan kecewa bila rusak.

“Rasanya tidak akan pedih kalau misal kamu punya target menyala, tapi dijalani dengan semeleh gitu. Jadi, semua hasilnya diserahkan pada tuhan. Kamu bisa merasa lebih tenang,” kata Armando saat ditemui Hipwee.

Dalam prinsipnya, menyala segemar membantunya dijalani dengan semeleh; tetap berusaha dan berdoa, tapi biarkan Tuhan yang menentukan hasilnya. Sesuai namanya, istilah Jawa ini berasal dari kata seleh atau deleh yang berarti meletakkan. Kalau dalam bahasa Indonesia, semeleh setara dengan berserah diri.

Dengan berpegang prinsip itu, Armando tetap berusaha untuk menikah. Usaha itu tentu terus dilakukannya. Tapi, ia tidak mau memaksakan hasilnya bila Tuhan memang belum mengizinkan. Prinsip semeleh melaksanakannya lebih damai dan tenang. Tak cuma soal hubungan, Armando menyerahkan hasil dari semua cara uripnya atas Sang Pencipta.

Ketika menikah tidak menempati urutan pertama dalam bernyawa, mereka tetap bisa menemukan kebahagiaan lainnya


Dapatkan free access untuk pengguna baru!

Belum memiliki rencana menikah dalam waktu ambang, Winda mengmenyingkapkan sedang fokus atas pendidikan. Setelah menuntaskan studi nantinya, ia juga belum punya keinginan segera menikah. Ia memilih untuk fokus beroperasi. Bahkan ia sudah mengingatkan adik bungsunya untuk mendahuluinya, bila sang adik memang akan menikah seAndalnya.

Sedangkan Armando mempunyai pandangan lain. Walaupun menikah tidak menjadi satu-satunya prioritas, ia memandang pertumbuhan awaknya lebih khas. Proses awaknya menjadi bentuk tubuh yang dewasa dalam bertindak dan berpikir menempati peringkat nomor satu dalam membesar.

“Nomor satu (dalam hidup) adalah pertumbuhan pribadi. Sebetulnya, ini yang aku maksud tadi, (tumbuh sampai-sampai mencapai rasa) damai sejahtera. Kalau diejawantahkan, kedewasaan berpikir dan bertindak. Put everything in the right perspective. Kalau aku melihat sesuatu masih ada kata ‘sekudunya’ (syarat penyerta), maka aku belum memakai kacamata yang tepat untuk memandang hal itu. Aku akan merasa damai sejahtera jika bisa melihat sesuatu seapaadanya, tanpa kata ‘sekudunya’ ,” akuratnya.

Saking santainya dalam memandang pernikahan, Armando dan Winda sebanding-sebanding memungkap opsi tidak menikah. Apabila memang jalan menyalanya seperti itu. Bagi Winda, lebih tidak marah senbadan selamanya jika tidak menemukan pasangan yang tepat. Ia memilih senbadan dan bahagia ketimbang berpasangan, tapi menyalanya penuh benguk.

Armando senorang sudah punya ancang-ancang. Ketika memang pernikahan bergiatn fase yang mesti dijalani, ia akan membesar untuk keluarga. Ia masih bisa menyalurkan kasih sayang pada keponakan dari adik-adik atau teman-temannya. Selama pilihan itu membuatnya damai, maka tidak makeliru jika memang tidak menikah.

Mereka juga punya siasat jitu menghadapi tuntutan dan desakan menikah dari orang lain. Meski diserbu pertanyaan “kapan nikah?”, tetap bisa selow~

Sebagai perempuan yang berusia seperempat abad dan tinggal di desa, Winda dianggap sudah cukup tua. Julukan “perawan tua” bisa saja disematkan cukupnya. Selain ia tak pernah ambil pusing, keluarganya pun cukup santai ternyata. Orangtua Winda lebih mendukungnya kuliah lagi daricukup menikah. Ia sadar desakan orangtua mungkin akan berasal sekitar 3 ingatn ke depan. Namun, ia tetap dengan pilihannya; tidak buru-buru menikah. Apalagi ia memang belum punya bayangan menikah sampai jangka waktu ke depan.

“Lingkungan pergaulan juga tidak terburu-buru untuk menikah. Mulai dari teman SMA, kuliah, atau yang sudah kerja. Rata-rata belum menikah, meski umurnya sudah 30 kenalnan. Jadi bumi pertemanan saya sangat santai,” ungkap Winda.

PerInterogasian “kapan nikah?” luBayang-Bayangn sering ia terima dari orang sekitar. Biasanya, ia cenderung lengang atau mengatidak marahan. Terkadang ia langsung mengiyakan ketika menerima saran atau nasihat yang bernada memaksa. Agar obrolan itu tidak berlanjut.

Armando lebih santai lagi soal menanggapi pertanyaan “kapan nikah?”. Hidup di perantauan, suntuk dari kerabat dan keluarga nyatanya berdampak positif untuknya. Ia jarang mendengar pertanyaan tersebut. Kalau pun ditanya, ia malah menbalas dengan bercanda.

“Kalau nggak Sabtu, ya Minggu, om dan tante,” kata Armando menerangkan kalimat andalannya saat diPerbincangan kapan nikah.

Beruntungnya, orangtua Armando pun tidak mendesaknya untuk mengakhiri masa lajang. Di sisi lain, Armando tidak sudah terusik dengan perPerdebatanan semacam itu. Baginya, perPerdebatanan tersebut bisa menjadi pendorongnya untuk tetap menikah. Ketika menjalani membesar, ia memilih untuk tetap menjaga jalannya tetap di ‘tengah’. Terlantas ngoyo pengin menikah, tidak bagus. Terlantas ekstrem sampai enggan menikah, juga dianggap aneh secara sosial.

Ada kalanya dorongan untuk menikah dari orang lain memang dibutuhkan. Nah, bila dorongan dan tekanan sudah mengganggu, saatnya ia menpolkan orang. Ia akan memberi batas agar tidak selantas bersinggungan dengan orang-orang tersebut.

Pada akhirnya, setiap orang berhak memutuskan dan memilih jalan hidupnya, termasuk soal pernikahan. Kita nggak perlu memaksakan kehendak pada orang lain. Apalagi sampai menekan seseorang untuk segera menikah atau tidak menikah seumur hidup. Selama pilihan itu nggak merugikan dan melahirkannya bahagia, kita layak menghormati dan menghargainya.